Mengatasi rasa jenuh adalah suatu hal yang tidak mudah bagi sebagian orang. Penyebabnya bisa bermacam-macam, salah satunya adalah rutinitas atau pekerjaan yang dirasakan monoton, sebab selalu harus dikerjakan setiap hari dalam bentuk yang sama. Bagi sebagian orang, mungkin hal itu tidak menantang, dan kurang membangkitkan gairah kala mengerjakannya. Sehingga mereka memilih untuk mengerjakan sesuatu hal yang lain, yang dirasakan lebih menarik dan lebih menuntut kreatifitas.
Padahal, mengalahkan rasa bosan atau jenuh adalah sebuah kreativitas tersendiri. Setidaknya, setiap orang yang berhasil menaklukkannya telah berhasil mengubah paradigma yang tertanam dalam pikirannya bahwa pekerjaan tersebut membosankan, berganti menjadi sebuah produktifitas baru dengan semangat yang baru pula. Tidak mudah? Tentu saja. Bahkan perlu keterampilan tersendiri, kesabaran, dan yang paling penting adalah: kemauan. Bila kemauan tidak dihadirkan, maka perubahan itu tak kan terjadi.
Mengalahkan rasa bosan seumpama memukul-ratakan sebuah bongkahan batu yang akan menghabiskan energi. Ia menjadi sebuah momok tersendiri bagi tiap diri. Bisa dihitung berapa orang yang sukses menghancurkan 'batu kebosanan' itu. Sebagian besar hanya akan menunggu sampai batu itu hancur dimakan zaman atau dilubangi oleh air yang menetes dari hujan. Cukup jarang mereka yang dapat menjadikan batu tersebut sebagai 'lawan' dan dikalahkan. Menjadikan rasa bosan sebagai 'kawan' hanya akan membuatnya mendekam lebih lama dalam diri kita.
Sebenarnya, menjalani rutinitas tidak akan menjelma menjadi sebongkah ‘batu kebosanan’ yang akan terus dirasakan menghimpit, apabila kita menjalaninya dengan kesabaran dan juga keikhlasan. Melapangkan hati dan mengusir ‘debu-debu penyakit’ di dalamnya akan membantu diri kita untuk bisa menerima setiap kondisi dengan hati tenang. Masalahnya sekarang, menjadikan hati tetap ikhlas setiap saat dan membuatnya lapang selalu, adalah hal yang tidak mudah. Pula bergantung dari ‘bahan bakar’ yang ada dalam tiap diri kita, yang akan memompa semangat serta bekerja keras mengusir tiap titik debu ketidakikhlasan. Bahan bakar itu bernama keimanan.
Manusia diciptakan dengan segala kelemahan serta kelebihannya. Sifat lalai, lupa, lengah, adalah sesuatu yang memang menjadi sifat dasar manusia. Sesuatu yang memang sudah ada sebagai sebuah kelemahan, yang harus diatasi supaya sifat-sifat itu tidak terus muncul dan akhirnya mengganggu.
Rasa bosan, yang sering menjadi momok dan penyebab seseorang berkeinginan untuk pindah pekerjaan, bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Di antaranya adalah suasana kerja yang monoton, teman kerja yang sering membuat kesal, gaji yang tak kunjung naik, tidak dipromosikan untuk naik jabatan, merasa kurang mendapat tantangan dalam pekerjaan, dan sebagainya. Demikianlah alasan yang kerap kali diutarakan, diputuskan menjadi penyebab, lalu membuat seseorang tersebut hengkang dari tempat kerjanya. Benarkah alasan-alasan tersebut merupakan hal yang telah terjadi dan merupakan akar masalah? Ataukah hanya sebuah legitimasi yang dicari-cari supaya dapat melarikan diri dari ketidakmampuan untuk menghadapinya? Mungkin hanya Allah dan diri kita sendiri saja yang tahu.
Seringkali kita menyalahkan lingkungan di sekitar atas rasa bosan atau kejenuhan yang, menurut kita, sedang melanda. Mengkambinghitamkan sesuatu di luar diri kita rupanya menjadi pekerjaan mudah yang akan selalu kita lakukan, apabila kita tidak mau untuk melakukan introspeksi diri atau ber-muhasabah. Karena, bisa jadi kondisi stagnan atau rasa jenuh itu datang oleh sebab diri kita yang sering berpikiran negatif terhadap apa yang sedang dilakukan, atau terhadap seseorang yang sedang dihadapi. Sehingga semuanya terasa begitu tidak menyenangkan. Bisa jadi pikiran-pikiran itu muncul dikarenakan diri kita yang tak mampu berinovasi dan berpikir kreatif untuk mengembangkan kemampuan serta tugas-tugas kantor yang sedang dikerjakan. Bisa jadi ketidaknyamanan itu adalah akibat dari diri kita yang selalu merasa kurang sehingga timbul emosi dan gejolak untuk mendramatisasi keadaan. Lalu muncullah sebuah pikiran yang akhirnya dinyatakan sendiri maupun kepada orang lain, “Aku bosan! I’m outta here!”
Benarkah demikian? Diri kita sendirilah yang dapat menjawabnya. Mungkin saja, bila kita mau meluangkan waktu untuk rehat sejenak di kala aktifitas di kantor sedang dalam stadium tinggi, rehat itu akan membawa kesegaran dan semangat baru. Sehingga pikiran menjadi lebih terbuka terhadap masukan-masukan positif yang membangun dan menyelesaikan permasalahan. Bentuk rehat itu bisa bermacam-macam. Tidak perlu cuti berhari-hari bahkan berhura-hura dengan segala bentuknya, sebab bisa jadi akan menjadi celah kemalasan untuk timbul dan melenakan gerak kita yang sudah cukup lamban. Rehat itu bisa dihadirkan dalam bentuk membuat games atau permainan menarik sepanjang waktu istirahat kantor. Atau mengadakan pelatihan singkat, semacam workshop atau seminar sehari, dengan tujuan untuk membangkitkan motivasi. Atau merencanakan perubahan dalam pola pengerjaan tugas-tugas kantor yang dirasakan monoton tersebut.
Hal-hal di atas tentu saja akan dapat bermanfaat bila diri kita atau siapapun yang merasa bosan memiliki “kemauan” yang kuat untuk mengatasi dan mengalahkan rasa bosan itu. Bila tidak, maka seribu macam permainan dan inovasi apapun akan tetap dirasakan sebagai sebuah kesia-siaan.
Semuanya memang tergantung pada diri kita masing-masing. Hambatan yang menjadi penghalang kesuksesan itu akan selalu ada. Soal apakah ia akan menjadikan kita berpaling dan kemudian pergi meninggalkan pekerjaan, atau kita memilih untuk menghancurkan hambatan itu kemudian bertahan dan memperbaiki segala sesuatunya, adalah pilihan pribadi. Tak mudah memang untuk menjadi seseorang yang survive dalam kondisi sulit. Tetapi mereka yang sedikit itulah yang akan muncul dengan kesuksesan dan kemudian dikenal sebagai seseorang yang berhasil dalam pekerjaannya.
Itu semua adalah pilihan. Sebab perubahan hanya akan terjadi pada mereka yang memiliki kemauan kuat untuk berubah atau mengubah kondisi tak menyenangkan yang mereka rasakan serta menghadapi segala hambatan yang memang akan selalu ada. Kita sendiri yang menentukan, akan mengalahkan atau dikalahkan oleh “rasa bosan”.
Padahal, mengalahkan rasa bosan atau jenuh adalah sebuah kreativitas tersendiri. Setidaknya, setiap orang yang berhasil menaklukkannya telah berhasil mengubah paradigma yang tertanam dalam pikirannya bahwa pekerjaan tersebut membosankan, berganti menjadi sebuah produktifitas baru dengan semangat yang baru pula. Tidak mudah? Tentu saja. Bahkan perlu keterampilan tersendiri, kesabaran, dan yang paling penting adalah: kemauan. Bila kemauan tidak dihadirkan, maka perubahan itu tak kan terjadi.
Mengalahkan rasa bosan seumpama memukul-ratakan sebuah bongkahan batu yang akan menghabiskan energi. Ia menjadi sebuah momok tersendiri bagi tiap diri. Bisa dihitung berapa orang yang sukses menghancurkan 'batu kebosanan' itu. Sebagian besar hanya akan menunggu sampai batu itu hancur dimakan zaman atau dilubangi oleh air yang menetes dari hujan. Cukup jarang mereka yang dapat menjadikan batu tersebut sebagai 'lawan' dan dikalahkan. Menjadikan rasa bosan sebagai 'kawan' hanya akan membuatnya mendekam lebih lama dalam diri kita.
Sebenarnya, menjalani rutinitas tidak akan menjelma menjadi sebongkah ‘batu kebosanan’ yang akan terus dirasakan menghimpit, apabila kita menjalaninya dengan kesabaran dan juga keikhlasan. Melapangkan hati dan mengusir ‘debu-debu penyakit’ di dalamnya akan membantu diri kita untuk bisa menerima setiap kondisi dengan hati tenang. Masalahnya sekarang, menjadikan hati tetap ikhlas setiap saat dan membuatnya lapang selalu, adalah hal yang tidak mudah. Pula bergantung dari ‘bahan bakar’ yang ada dalam tiap diri kita, yang akan memompa semangat serta bekerja keras mengusir tiap titik debu ketidakikhlasan. Bahan bakar itu bernama keimanan.
Manusia diciptakan dengan segala kelemahan serta kelebihannya. Sifat lalai, lupa, lengah, adalah sesuatu yang memang menjadi sifat dasar manusia. Sesuatu yang memang sudah ada sebagai sebuah kelemahan, yang harus diatasi supaya sifat-sifat itu tidak terus muncul dan akhirnya mengganggu.
Rasa bosan, yang sering menjadi momok dan penyebab seseorang berkeinginan untuk pindah pekerjaan, bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Di antaranya adalah suasana kerja yang monoton, teman kerja yang sering membuat kesal, gaji yang tak kunjung naik, tidak dipromosikan untuk naik jabatan, merasa kurang mendapat tantangan dalam pekerjaan, dan sebagainya. Demikianlah alasan yang kerap kali diutarakan, diputuskan menjadi penyebab, lalu membuat seseorang tersebut hengkang dari tempat kerjanya. Benarkah alasan-alasan tersebut merupakan hal yang telah terjadi dan merupakan akar masalah? Ataukah hanya sebuah legitimasi yang dicari-cari supaya dapat melarikan diri dari ketidakmampuan untuk menghadapinya? Mungkin hanya Allah dan diri kita sendiri saja yang tahu.
Seringkali kita menyalahkan lingkungan di sekitar atas rasa bosan atau kejenuhan yang, menurut kita, sedang melanda. Mengkambinghitamkan sesuatu di luar diri kita rupanya menjadi pekerjaan mudah yang akan selalu kita lakukan, apabila kita tidak mau untuk melakukan introspeksi diri atau ber-muhasabah. Karena, bisa jadi kondisi stagnan atau rasa jenuh itu datang oleh sebab diri kita yang sering berpikiran negatif terhadap apa yang sedang dilakukan, atau terhadap seseorang yang sedang dihadapi. Sehingga semuanya terasa begitu tidak menyenangkan. Bisa jadi pikiran-pikiran itu muncul dikarenakan diri kita yang tak mampu berinovasi dan berpikir kreatif untuk mengembangkan kemampuan serta tugas-tugas kantor yang sedang dikerjakan. Bisa jadi ketidaknyamanan itu adalah akibat dari diri kita yang selalu merasa kurang sehingga timbul emosi dan gejolak untuk mendramatisasi keadaan. Lalu muncullah sebuah pikiran yang akhirnya dinyatakan sendiri maupun kepada orang lain, “Aku bosan! I’m outta here!”
Benarkah demikian? Diri kita sendirilah yang dapat menjawabnya. Mungkin saja, bila kita mau meluangkan waktu untuk rehat sejenak di kala aktifitas di kantor sedang dalam stadium tinggi, rehat itu akan membawa kesegaran dan semangat baru. Sehingga pikiran menjadi lebih terbuka terhadap masukan-masukan positif yang membangun dan menyelesaikan permasalahan. Bentuk rehat itu bisa bermacam-macam. Tidak perlu cuti berhari-hari bahkan berhura-hura dengan segala bentuknya, sebab bisa jadi akan menjadi celah kemalasan untuk timbul dan melenakan gerak kita yang sudah cukup lamban. Rehat itu bisa dihadirkan dalam bentuk membuat games atau permainan menarik sepanjang waktu istirahat kantor. Atau mengadakan pelatihan singkat, semacam workshop atau seminar sehari, dengan tujuan untuk membangkitkan motivasi. Atau merencanakan perubahan dalam pola pengerjaan tugas-tugas kantor yang dirasakan monoton tersebut.
Hal-hal di atas tentu saja akan dapat bermanfaat bila diri kita atau siapapun yang merasa bosan memiliki “kemauan” yang kuat untuk mengatasi dan mengalahkan rasa bosan itu. Bila tidak, maka seribu macam permainan dan inovasi apapun akan tetap dirasakan sebagai sebuah kesia-siaan.
Semuanya memang tergantung pada diri kita masing-masing. Hambatan yang menjadi penghalang kesuksesan itu akan selalu ada. Soal apakah ia akan menjadikan kita berpaling dan kemudian pergi meninggalkan pekerjaan, atau kita memilih untuk menghancurkan hambatan itu kemudian bertahan dan memperbaiki segala sesuatunya, adalah pilihan pribadi. Tak mudah memang untuk menjadi seseorang yang survive dalam kondisi sulit. Tetapi mereka yang sedikit itulah yang akan muncul dengan kesuksesan dan kemudian dikenal sebagai seseorang yang berhasil dalam pekerjaannya.
Itu semua adalah pilihan. Sebab perubahan hanya akan terjadi pada mereka yang memiliki kemauan kuat untuk berubah atau mengubah kondisi tak menyenangkan yang mereka rasakan serta menghadapi segala hambatan yang memang akan selalu ada. Kita sendiri yang menentukan, akan mengalahkan atau dikalahkan oleh “rasa bosan”.
MENGALAHKAN ATAU DIKALAHKAN?
Reviewed by Mac_Noumi
on
03.57.00
Rating:
Tidak ada komentar: