Most Recent

Emisi Karbon pada penerapan dan Efek pergeseran ideal (Repotition Carbon of Application).

“Dibandingkan kondisi bumi seratus tahun lalu, saat ini suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sebesar 0.750 C. Secara ekstrim, gejala peningkatan suhu permukaan bumi terjadi hanya dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Badan PBB, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) meramalkan bahwa di tahun 2100 nanti, suhu rata-rata dunia cenderung akan meningkat sebesar 2.2o C –yakni dari 1.80 C menjadi 40 C. Bahkan melihat fenomena pemanasan global yang kini terjadi, skenario terburuk, di tahun 2100 permukaan suhu bumi dapat mencapai 6.40 C. (Jeffreys Sachs; 2008)”




Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan permasalahan global karena dampaknya dirasakan di seluruh permukaan bumi. Negosiasi internasional telah memberikan beberapa alternatif untuk mencegah terjadinya peningkatan dampak ini. Salah satunya adalah perdagangan karbon dengan berbagai mekanismenya.

Emisi karbon banyak disebabkan oleh industri yang muncul sejak revolusi industri di negara-negara utara (maju), jadi penyumbang terbesar kerusakan ozon adalah negara maju dengan berbagai industrinya. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat emisi karbon, negara-negara maju harus menurunkan kapasitas industri dan mengharuskannya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2012 nanti. Sebagai contoh AS seharusnya menurunkan intensitas gas rumah kaca (GRK) sebesar 18 persen selama 10 tahun (periode 2002-2012), yaitu dari 183 ton per juta dolar GDP tahun 2002 menjadi 151 ton per juta dolar GDP tahun 2012.

Cara lainnya adalah menghentikan pembalakan hutan penyerap karbon dan merehabilitasi kawasannya. Tetapi ketiga hal tersebut tidak dapat (bahkan tidak mau) dilakukan oleh negara-negara maju semisal Amerika, Jepang, Rusia, Kanada, dan Australia. Konon juga pejabat tinggi Kanada dalam COP 7 UNFCCC mengatakan tidak perlu adanya sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan Protokol Kyoto. Kenapa ? karena dengan menurunkan kapasitas industrinya akan terjadi kegoncangan ekonomi dinegara mereka, pengangguran akan meningkat, krisis dan kelumpuhan ekonomi. Sementara untuk menyiapkan hutan penghisap karbon, negara-negara maju sudah tidak lagi mempunyai hutan dan sudah hancur sejak revolusi industri dan perang dunia terjadi apalagi untuk merehabilitasi kawasannya, tentu saja akan memakan biaya yang sangat mahal dan hampir tidak mungkin dilakukan pada kawasan-kawasan seperti di Amerika yang merupakan kawasan tandus bekas tambang.

Dengan kondisi demikian, pilihan paling mudah dan murah serta paling mungkin adalah “mendesak” negara-negara tropis untuk tetap terus mempertahankan hutannya sebagai penghisap karbon dengan cara “perdagangan“. Sayangnya desakan untuk menyediakan penghisap karbon di negara-negara tropis yang rata-rata miskin ini, tidak mau dibarengi dengan (juga) menurunkan kapasitas industri negara maju. Artinya tetap saja jumlah emisi yang beredar di atmosfer dunia tinggi. Semestinya kedua hal (penyediaan penghisap karbon dan penurunan jumlah industri penghasil karbon) dilakukan beriringan, sehingga terjadi keseimbangan tanggung jawab antara negara utara dengan negara selatan.

Perdagangan Karbon dan Cuci Dosa Perusak Lingkungan
Seperti telah diutarakan diatas bahwa salah satu penyebab utama meningkatnya penipisan lapisan ozon adalah akibat emisi buang dari industri, terutama industri minyak dan gas. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan minyak dan gas adalah kebutuhan manusia yang masih sulit digantikan oleh bahan bakar lain, akan tetapi akibat industri-industri yang mengelurakan karbon ke atmosfer inilah yang menjadi penyumbang kerusakan ozon dan udara.

Konvensi Tingkat Tinggi Bumi 13 tahun yang silam di Rio de Jenerio, Brasil merekomendasikan untuk dilakukan penurunan emisi karbon, namun kembali dan sayangnya negara-negara maju membandel dan dengan licik menekan negara selatan untuk bertanggungjawab atas masalah ini. Dalam hal ini negara utara lebih melihat bahwa bentuk pertanggung jawabannya adalah melalui dana-dana lingkungan (semacam bio carbon fund).

Coorporate penghasil karbon sendiri, yang selama ini telah banyak mengeruk sumberdaya alam dan melakukan perusakan lingkungan dan bahkan melakukan pelanggaran HAM dan bekerja dengan pemerintah yang korup dan militer yang menindas hanya bertanggung jawab dengan dana pembangunan saja tanpa melakukan upaya untuk perbaikan lingkungan yang komprehensif.

Metode canggih yang ditawarkan oleh coorporate demikian, biasa disebut dengan greenwash, yaitu pemberian dana-dana perbaikan lingkungan sebagai konvensasi perbuatan mereka merusak lingkungan. Perusakan lingkungan yang dilakukan suatu wilayah yang mana dana tersebut dihasilkan secara licik kemudian diberikan kepada lembaga-lembaga pengelola dana (funding agency) untuk seolah-olah melakukan perbaikan di suatu wilayah lainnya. Proses yang dijalankan ini merupakan upaya “cuci dosa” oleh coorporate yang sebetulnya hanyalah “uang receh” atau “permen karet” saja kalau dibandingkan dengan nilai kerusakan yang ditimbulkannya.

Ironisnya, dengan metode ini banyak pihak yang memanfaatkannya, terutama kaum oportunis dan “pengangguran” di negara-negara maju [walaupun di Indonesia mereka biasanya dianggap sebagai expert] dengan cara memberikan janji-janji dan pembangunan semu dan proyek-proyek pelestarian lingkungan di negara selatan. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan pertambangan minyak dan gas Shell (Royal Dutch Shell) yang berkantor hampir diseluruh dunia yang melakukan greenwash dengan mengeluarkan dana beberapa milyar rupiah untuk proyek perlindungan kawasan hutan dan rehabilitasi mamalia orangutan (salah satunya di Kalimantan Tengah).

Proyek ini sendiri secara sepihak telah mengklaim kawasan kelola rakyat dan menutup akses rakyat dengan justifikasi bahwa rakyat tidak dapat mengelolanya dengan baik atau dikatakan bahwa rakyat adalah perusak lingkungan. Pendekatan yang dilakukan melingkupi dua hal, yaitu janji-janji muluk perbaikan sosial dan ekonomi pada masyarakat sekitar lokasi proyek dan melakukan tekanan melalui pendekatan dengan penguasa (biasanya selalu menjual nama-nama pejabat penting pemerintahan baik pusat ataupun daerah). Padahal Shell sendiri berkelakuan sangat buruk terhadap lingkungan dan manusia di tempatnya bekerja, misalnya di Nigeria-Afrika (salah satunya adalah kasus Pembunuhan Ken Saro-wiwa dan 8 orang suku Ogoni lainya di Nigeria).

Dengan peta kondisi yang demikian, maka dengan jelas dapat dilihat bahwa mekanisme karbon trading dan sejenisnya belum dapat menjawab kerusakan lingkungan global bahkan hanya memberikan peluang bagi kaum kapital perusak lingkungan untuk melakukan pencucian dosa yang dibuatnya.

Persoalan lainnya dalam karbon trading adalah mekanisme pendanaan “diatas langit”, tidak dapat disentuh langsung oleh masyarakat dan hanya dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok pintar (serta licik) saja. Masyarakat kembali hanya menjadi penonton dan penerima serta objek dari pertunjukan yang disebut dengan karbon trading. Bahkan bukan hanya masyarakat basis saja yang sangat tidak jelas dan tidak dapat mengakses mekanisme karbon fund ini, pemerintah (daerah) dan NGOs sendiri juga sangat sulit dan belum mengerti dengan karbon trading ini.

Sisi lain yang terjadi adalah tudingan negara-negara dengan aktivitas industri yang tinggi mengarahkan permasalahan climate change tersebut langsung ke negara berkembang, manakala mereka gagal mencapai kesepakatan target penurunan emisi karbon. Hal itu tidak terkecuali ditujukan ke Indonesia yang notabene mempunyai banyak potensi hutan dan layak untuk dibidik terkait dengan perubahan-perubahan perilaku iklim dan lingkungan global saat ini.

Tudingan itu tak lepas dari kecurigaan mereka pada kondisi hutan Indonesia yang diduga berkontribusi signifikan terhadap pelepasan karbon ke atmosfer. Bahkan negara industri menempatkan Indonesia sebagai emiter ketiga terbesar di dunia, setelah China dan Amerika Serikat. Sangat tidak masuk akal, negara pemilik hutan hujan tropis dan penyumbang oksigen bagi bumi dituduh sembarangan sebagai penyumbang emisi karbon. Bagaimana seharusnya strategi Indonesia merespons tudingan itu sekaligus menghadang kecurigaan tersebut dengan bukti kuantitatif?

Sejak peluncuran satelit Gosat (Greenhouse Gases Observing Satellite) yang khusus untuk memonitor distribusi konsentrasi gas rumah kaca pada 23 Januari 2009, Indonesia telah terlibat dan berkontribusi dalam kajian bersama dengan tim Gosat Jepang sampai saat ini.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun telah menginisiasi metode multistage carbon sensing untuk memonitoring konsentrasi gas rumah kaca, baik langsung di lapangan maupun di atmosfer, bermitra dengan tim Gosat Jepang. Dalam menjejak karbon di darat dilakukan untuk mengetahui karbon yang terdeposit di dalam tanah, pada vegetasi hidup/mati, dan dalam bentuk dalam bentuk flux dengan metode allometric, chamber system, eddy covariance, dan lain-lain. Menjejak konsentrasi gas rumah kaca di udara pada layer tengah atmosfer dilakukan dengan sensor dropsonde. Menjejak GRK di outerspace dilakukan dengan satelit Gosat. Integrasi penjejakan gas rumah kaca dari tiga sumber data itu diarahkan untuk memprediksi distribusi gas rumah kaca seperti CO2 di atmosfer yang bersumber dari berbagai pengemisi di darat.

Distribusi global CO2 Terkait dengan konsentrasi global CO2, hasil diagnosis yang dilakukan BPPT bersama dengan tim Gosat Jepang menunjukkan konsentrasi global CO2 rendah pada pada belahan bumi utara, yang terjadi sekitar periode 1 Agustus sampai 29 Oktober 2009. Hal ini sangat erat berhubungan dengan proses fotosintesis vegetasi yang berlangsung aktif selama periode tersebut. Kemudian, bila diselisik lebih jauh, dari model simulasi distribusi fluks CO2 bersih dan model simulasi transport atmosferis yang diaplikasikan terlihat densitas distribusi global CO2 cukup tinggi di belahan bumi utara pada sekitar Januari 2009, yang meliputi negara-negara industri di Asia (seperti China, Jepang, dan Korea), Rusia dan negara-negara Eropa. Kondisi densitas tersebut cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Seperti diketahui bahwa di kawasan belahan bumi utara, kondisi wilayah bervegetasi (hutan) cukup minim, tidak seluas dengan apa yang ada di wilayah tropis.

Analisis lanjutan mengindikasikan kawasan Pulau Kalimantan mempunyai nilai densitas distribusi global CO2 yang relatif rendah jika dibandingkan dengan beberapa kawasan Asia dan Eropa yang telah disebutkan. Pada Agustus lazimnya di belahan bumi utara dinamika distribusi CO2 rendah karena proses fotosintesis vegetasi berlangsung aktif selama periode tersebut (summer time).

Tampak seluruh kawasan Indonesia menunjukkan densitas distribusi CO2 yang rendah. Itu terjadi akibat pengaruh dari distribusi CO2 global dan hutan Indonesia masih dalam kondisi baik hingga proses fotosintesis terjadi setiap saat. Analisis itu menunjukkan kondisi distribusi gas rumah kaca, khususnya CO2 di atas atmosfer Indonesia, secara kuantitatif tidaklah sedahsyat apa yang ditudingkan selama ini. Malahan tudingan tersebut memang patut diarahkan kepada negara-negara pengemisi terbesar yang berada di belahan bumi utara, yang notabene penggunaan bahan bakar fosil untuk industri dan transportasi cukup tinggi.

Sajian data ini mempunyai potensi besar untuk dijadikan sebagai bahan argumentasi pemerintah Indonesia pada berbagai forum internasional yang terkait dengan isu emisi karbon. Mekanisme perdagangan karbon melalui sistem reduction emission from deforestation and degradation (REDD) bukanlah perkara mudah. Pasalnya perjalanan yang harus ditempuh masih panjang, dalam konteks ‘dagang’ karbon. Banyak sekali proses dan simpul administratif di tengah jalan harus dilewati yang akan memakan waktu bertahun-tahun.

Dalam kaitannya dengan Perencanaan dalam Pembangunan Daerah, diperlukan sebuah usaha sistemik dan konsisten. Dalam konteks ini, Indonesia harus bertindak cerdas dan strategis menyikapi hiruk pikuk REDD. Indonesia harus berani mengatakan ‘tidak’ terhadap deal-deal yang bertujuan menyubstitusi karbon Indonesia dengan hibah berbentuk apa pun dari pendonor. Pola pikir kita harus diubah bahwa dengan ada dan tidak ada dana dari donor, Indonesia harus berbuat yang terbaik dengan hutan dan alam kita. Dengan modal alam yang baik, pemerintah bisa meraih dimensi keadilan bagi rakyat, dengan menyisakan ‘harta’ yang sangat bernilai untuk fungsi konservasi, bank plasma nuftah, sumber energi, lumbung bahan dasar obat, penyedia nutrisi, dan lumbung energi dengan pengelolaan yang proporsional. Hal itu sangat penting agar Indonesia mempunyai ‘posisi tawar’ yang tinggi dengan negara-negara lain. Bilamana semua hal itu mampu kita implementasikan, kesediaan Indonesia menurunkan emisi sebesar 26% bukanlah sesuatu yang menyebabkan ‘gegar budaya’ sehingga isu iklim menjadikan posisi Indonesia lebih kuat dan terhormat. 
( TM. Noumi / Selesai)
Emisi Karbon pada penerapan dan Efek pergeseran ideal (Repotition Carbon of Application). Emisi Karbon pada penerapan dan Efek pergeseran ideal (Repotition Carbon of Application). Reviewed by Mac_Noumi on 05.57.00 Rating: 5

1 komentar: