Jum’at 15 Januari 2016 lalu,
tepatnya selesai Shalat Jum’at kami kembali melakukan persiapan menuju kembali
ke Glee Paroe Cut, Lhoong, Aceh Besar. Setelah seminggu sebelumnya, terakhir
kami ke tempat ini, rasa betah berada disana menjadi alasan sederhana ini untuk
kembali. Penasaran, kagum, indah dan berbagai alasan positif menyatakan kami
untuk mempertegas untuk kembali kesana, karena semua hobby dapat tersalurkan
dengan tepat. Memancing, Susur Pantai, Penanaman Pohon, Panjat Tebing Alam,
Snorkling, Foto Hunting, dan Api Unggun serta banyak hal lainnya dapat
dilakukan disana.
Setelah Shalat Asar, kami menuju ke
salah satu “warung kopi” yang “brand”nya sudah ada sejak Tahun 1974, dan gencar
dipublikasikan ke berbagai Media akhir-akhir ini. Solong “Coffee Shop” menjadi
titik pertemuan segenap anggota tim sebelum kesana. Setelah paginya semua
peralatan dan perlengkapan sudah tersedia, seperti umpan pancing, beberapa
paket logistik, peralatan menginap, memasak, dan lainnya. Kami saat itu
berjumlah 5 orang, terdiri dari Bang Yong, Nomen, Kali dan Pukang serta saya
sendiri. Dan ada beberapa orang teman menyatakan akan menyusul kesana keesokan
harinya (sabtu).
Tepatnya jam menunjukkan pukul 17.00
WIB, kami start gerak ke Kawasan Glee Paroe Cut. Kali ini, kami menuju kesana
dengan menggunakan Sepeda Motor, dikarenakan kondisi saat itu hujan dan kami
juga membawa bibit-bibit Trembesi untuk kegiatan Penanaman selama disana
nantinya. Melaju dengan pasti, rute yang diambil kali ini adalah melalui
kawasan Jalan protokol Kota Banda Aceh (Banda Aceh – Lhok Nga) via jalur Taman
Sari. Tepat Magrib, Kami sampai di Desa Birek, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar.
Setelah selesai Shalat Magrib berjamaah di Mesjid Kampung itu, kami melakukan
perjalanan kembali. Malam itu, perjalanan agak kurang normal akibat hujan yang
mengguyur Kawasan Lhoong dari selesai Magrib. Efeknya, perjalanan yang
seharusnya kami rencanakan malam itu langsung ke Glee Paroe Cut, terpaksa harus
dihentikan untuk menghidari resiko yang tidak diinginkan terjadi pada
perjalanan, sebab jalan mendaki di gunung menuju ke kawasan itu malamnya
terlalu ekstrim untuk dispekulasikan. Licin dan Kerekan Tanah Liat yang sudah
basah sangat sulit dilalui oleh “Kendaraan Normal”. Sebuah “Balee” kampung yang
baru dibangun, menjadi persinggahan Tim untuk selanjutnya segera membuat menu
masak untuk makan malam itu dan menginap.
Pagi jam menunjukkan aktivitas
rutinnya dari seluruh penghuni jagad raya ini, mulai dari kicauan
burung-burung, tetesan air di ujung-ujung daun setelah hujan malamnya, raihan-raihan
angin sejuk terasa seperti adanya titik-titik embun menjadikannya suasana
tersendiri di pagi yang indah ini. Saat setelah selesai sarapan pagi, jam 08.15
WIB Tim melanjutkan perjalanan ke Paroe Cut. Perjalanan kali ini menghabiskan
waktu sampai 20 Menit dari waktu normal sebelumnya. Hal ini, dikarenakan
jalanan masih terasa agak licin bekas hujan semalaman. Tim kembali dibuat
kagum, saat sampai di Paroe Cut, air laut yang tenang dengan langit yang cerah
serta gerakan keterkejutan camar laut yang singgah di Pulau Tengah Teluk Paroe
Cut beranjak pergi setelah melihat dan merasakan adanya gerakan manusia yang
datang ke tempatnya, suasana karang-karang seakan diam dan tenang yang ada di
dasar laut dangkal teluk itu seakan mengisyaratkan, bahwa ia adalah teman setia
sepanjang waktu dari Laut dan Tebing-tebing yang berdiri perkasa di Paroe Cut
ini.
Perasaan syukur dengan decak kagum
kembali mengisi ruang sanubari ini, seakan mendapatkan kembali “gairah”
semangat menjalani hari-hari yang berbahagia ini berikutnya dengan seisi
kawasan Ciptaan Yang Maha Kuasa. Sepanjang hari itu, Tim terlibat dengan segala
aktivitas yang sudah direncanakan, memancing, menyelam, motret dan berjalan
susur pantai serta menyiapkan makan siang dengan menu ikan hasil pemancingan
terasa segar dan sehat untuk di konsumsi. Ada yang spesial di menu makan siang
kali ini, Tim menikmati makan siang dengan racikan sederhana dengan “Turlu” ala
Turki dan makan ikan segar yang digoreng hasil pancingan (sengaja tidak dipanggang,
karena sayur Turlu Turki sangat sesuai dikonsumsi dengan menu tambahan ikan
goreng). Terekam jelas bagaimana saat-saat itu menikmati makan siang dengan
menu seperti ini di Kota Istanbul, Turki, 3 Tahun Silam. Namun disinilah yang
istimewanya, karena kami menikmati Turlu, racikan sendiri dan langsung mengkonsumsinya
di Teluk dan Panorama Langsung dari Pantai Paroe Cut, bukan di Restoran dan
Suasana Pantai yang dibuat “seolah-olah” di Istanbul. Tidak salah bukan kalau
kita semua bisa mencobanya dengan kreasi masing-masing?
Sunsetnya pun kembali menjadi daya
tarik tersendiri sore itu. Dengan langit yang cerah dan Sunset yang penuh
dengan warna kemerahannya yang khas membuat cerita ini semakin sulit untuk
diapresiasikan dalam “pujian-pujian” kemegahannya pada tulisan sederhana ini.
Anda semua dapat membayangkan, bagaimana suasana kami disana pada saat semua
gejala dan potensi alam dapat memberikan kami kesan yang sangat istimewa saat
itu !
Beranjak kita pada nukilan kisah
malamnya. “Malam Minggu” yang punya kisah tersendiri dan takjub buat kami di
Tim ini. Tebaran bintang dengan setia masih menghuni malam, cahaya bulan yang
berbuai dengan pendaran cahaya pada sabitnya, langit cerah dengan sedikit
gumpalan awan, lampu-lampu “ketel” keramba ikan tengah laut dari kejauhan, Api
unggun dan suara-suara ombak tenang memecah keheningan Teluk Paroe Cut serta
kombinasi suara-suara alam dan penghuni malam saat itu. Apa yang terpikirkan
oleh anda? jika suasana malam itu Tim Metalik Adventure punya lagi menu khusus
lainnya. “Kuah Beulangong” dengan Bumbu Kari Aceh terasa tepat mengisi malam
dengan persiapan sajian menu khusus Kari Bebek. Terasa suasana kekeluargaan
yang harmonis, semua terlibat dan berperan pada prosesi tersebut. Dari kejauhan
terlihat sinar lampu kendaraan bermotor terus mendekati kami. Iya benar, teman
yang menyusul sampai dengan selamat ke tempat camp kami malam itu. Bang Eki,
Rustam dan Musasi langsung bergabung di Tim dan segera “ikut serta” mencicipi
bersama masakan sederhana dengan menu spesial malam itu dari Tim. Setelah semua
selesai, mengisi waktu sebelum tidur. Seperti biasa “saling bicara, tukar
cerita” sampai asyik mengisi tema berkumpul, ada juga beberapa anggota tim
langsung melanjutkan kembali memancingnya. Sampai malam itu berakhir, tiada
satu pun dari kami merasakan hal yang tidak sesuai, justru semua terasa
menyenangkan, bahkan lebih.
Pagi minggu yang sejuk, kami
menyiapkaan sarapan pagi seperti biasanya. Tepat saat persiapan dan aktivitas
“dapur outdoor” berlangsung, hujan mengguyur Kawasan Paroe Cut. Saya berharap
anda tidak sesederhana itu dalam menyimpulkan suasana kami disana. Iya
“dingin”. Bukan itu yang membuat kesannya. Melainkan banyaknya objek foto yang
dapat terekam dengan jelas dari berbagai sudut pandang fotografi. Ada banyak
sekali camar laut yang bermigrasi ke Pulau Tengah menjadi objek penambah kesan
yang spesial dalam “nature culture life for all”. Sepakat atau tidak, justru
setelah hujan berakhir siangnya. Lokasi yang sehari sebelumnya digunakan untuk
bersnolkling, menjadi lebih indah untuk di “eksplor” secara sederhana dalam
menambah referensi dunia bawah air “underwater” nya Paroe Cut. Air laut yang
kebiru-biruan setelah suasana kembali cerah, menimbulkan kesan yang kasat mata
pun (tanpa menyelam) terlihat. Biota-biota laut dengan Terumbu Karangnya pun
terlihat jelas. Bahkan diluar sepengetahuan anda (yang belum kesini) tampaknya
jalan karang “coral-road” saat air laut memasuki masa surut. Hal ini memudahkan
Tim untuk berjalan “melintasi” air laut untuk melintasinya menuju ke Pulau
Tengah dengan berjalan kaki di atas karang, tanpa harus menyelam seperti
kebiasaan lumrah hari-hari sebelumnya.
Setelah semua kesan dan pengalaman
kami dapatkan, sepanjang hari itu (minggu-red). Siangnya, setelah makan siang
dengan. Prosesi dan moment akhir sebelum pulangpun terlaksana. Proses menanam
Bibit Trembesi (Raintree/ Samanea) di Kawasan dekat dengan Sumber Air Tawar
yang tak jauh dari Pasir Pantai pun terlaksana. Bukan mencari sesuatu yang
bersifat pencitraan, melainkan hanya berharap “mereka” tumbuh dengan baik dan
“terawat: nantinya serta memberi “asupan” kehidupan baru bagi lingkungan
sekitarnya, itu yang menjadi harapan dan do’a pada Allah Subhanahu Waa Ta’Ala,
semoga di Ridhai dan di berikan Berkah atas hidupnya. Ada beberapa Bibit yang
tidak kami tanam, tetapi diminta oleh beberapa warga setempat, untuk ditanam
sendiri kemudian harinya. Kami bangga dengan mereka, atas apapun atensi yang
mereka perbuat demi lingkungan hidup yang bermartabat dan lestari.
Tepat waktu menunjukkan jam 14.30
WIB, tim bersiap kembali ke Banda Aceh. Langit pun kembali dengan “isyarat
alam” mendungnya. Berharap kami berhasil melewati tanjakan dan turunan pada
jalur Kawasan bertanah liat tanpa halangan sebelum turunnya hujan.
25 menit waktu berlalu, kami pun
berhasil sampai dengan selamat ke Mesjid Desa Birek, Lhoong, Aceh Besar.
Setelah menempuh perjalanan dengan kehati-hatian yang luar biasa. “Biar lambat
asal Sampai” menjadi dasar dalam menunaikan niat pulang setelah terucap “Bismillahhirrahmannirrahim” dari bibir
dan bisikan jiwa yang lemah ini.
Kopi, menjadikan suatu kerinduan
tersendiri. Bahkan jam 17.18 WIB saat sampai di Banda Aceh Kembali, Tim
langsung masuk dalam suasana ngopi kembali. Ada banyak cerita
yang tersadur pada “meja spontanitas” itu. Mulai dari cerita kocak, konyol
serta beragam momen yang seru dan asyik lainnya. Glee Paroe Cut dan keindahan
Teluknya berhasil memberi kesan positif sarat makna pada Tim Metalik Adventure
kali ini untuk kesekian kalinya. Ada ungkapan “Tak Kenal maka Tak Sayang”,
sederhana dan bersifat jadul seakan
tepat untuk mendekatkan segala sesuatu yang sudah kita peroleh sebelumnya.
Berjiwa dan bermental sehat, haruslah bijaksana dan dewasa dalam melakukan
proses “hidup” semua kehidupan ini, termasuk Lingkungan Hidup salah satu contoh
kecilnya. Tiada apapun yang lebih, yang kita punya. Hanya beberapa yang kecil
titipan Ilmu, Akal, dan Amal dari Allah Subhanahu Waa Ta’Ala berikan pada kita
semua. Jadi selaraslah semua itu dengan Amal dan Perbuatan yang baik dan
sesuai. Alam dan sekitarnya pun demikian, ia haruslah hidup dan lestari dengan
normal di tengah-tengah keberadaan Semua Makhluk Hidup ciptaan Yang Maha Kuasa,
apalagi di tengah-tengah “Makhluk hidup yang diberikan nyawa, berakal dan
beradab”. Semua kita pasti dapat berperan aktif dalam menjaga keseimbangan
alam, hanya saja “mungkin” kita belum berani memulainya. Memulai membangun itu
semua dengan “Ilmu dan Cinta”
berdasar kesadaran dan berjiwa besar tentunya. [[***]]
Banda Aceh,
18 Januari 2016
TM.Noumi (M
15005 AB)
----Resume Photo---
Ada Cerita dari Paroe Cut (Metalik Adventure)
Reviewed by Mac_Noumi
on
10.18.00
Rating:
Tidak ada komentar: