..............
Aku
bertanya tentang terdahulu pada batang.
Ia
dengan bangga menjawab, kita berasal dari akar yang kokoh dan sabar menjaga
kita dari semua yang dapat mengancam kelangsungan kita. Pencipta kita sekalian
Alam Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan segalanya kepada kita bersama agar
kita dapat menikmati kehidupan ini.
Adakah
yang terpenting lainnya, yang menjadi sesuatu yang luput pada kita? Kembali aku
memberanikan diri bertanya padanya.
Ada,
(batang kembali menjawab). Yaitu, sebuah petaka yang datang dari Mahkluk yang
baru-baru ini aku ketahui mereka adalah “Manusia”. Ada apa dengan makhluk itu?
Celetuk daun sambil mengamati keadaan sekitar dengan pandangan takut.
Tidaklah
semua dari Makhluk itu bersifat jahat padaku, akan tetapi banyak yang aku
jumpai mereka itu bersifat tamak, serakah dan sombong serta berbangga hati,
jika telah mendapatkan aku serta sahabat-sahabatku lainnya sebagai kebutuhan
yang menjadikan mereka lupa akan kita semua. Tidak sedikit kita jumpai, mereka
tidak meremajakan kita. Terlebih, jika kita meremajakan diri dengan tunas-tunas
yang baru, tidak sedikit yang mereka musnahkan, beruntunglah bagi teman-teman
jika sampai umur dewasanya meskipun kami sadar suatu saat kami tidak akan
mendapatkan “kematian” yang hakikatnya layak kita peroleh. Adakah engkau masih
ingin bertanya, wahai daun?
Yakinku
dengan mereka yang berprilaku baik terhadapmu dan sahabat.
Baiklah,
jika demikian. Cobalah perhatikan suatu saat jika ada mereka yang datang
kerumah kita kembali. Mereka yang datang dengan sopan dan salam, dan membawa
cikal-bakal kita semua yang akarnya dibungkus menggunakan sesuatu yang aku
tidak tahu apa namanya. Sering sekali mereka mengelus kami dengan ikhlas,
memberi kami makanan dan nutrisi yang dapat menghilangkan “puasa” kami akan kasih
sayang Makhluk-makhluk yang pernah kami anggap sebagai “Mereka yang Biadab”.
Disini, aku yakin. Mereka yang baik ini, selalu bertasbih pada Tuhan Sang
Pencipta Semesta ini berserta Kehidupannya. Layaknya semua penghuni yang
kebetulan aku tahu, disini namanya “Bumi” tanah semesta. Mereka yang telah
mengetahui keberadaan kami dapat membuat kelangsungan hidup bagi semua dan
terdapat nilai guna dalam keseimbangan ini, selalu berupaya menjaga kami dari
“Kalangan Mereka sendiri yang bertindak semena-mena” terhadap kami.
Sambil
sedih, ia telah menjelaskan semua yang ia ketahui tentang “Manusia” dengan
tulus dan penuh harapan bagi yang mendengarnya, agar semua mimpi buruk ini
berhenti. Penuh harap dan syukur jika “manusia” dibukakan hatinya oleh Sang
Khaliq, untuk berbuat baik terhadap dirinya dan lingkuan tempat ia berada. Ia
rindu hidup bahagia. Ia ingin hidup berdampingan tanpa ada prasangka dan curiga
terhadap ‘‘makhluk-makhluk” yang konon katanya mempunyai akal dan pikiran serta
moral. Ia butuh kedamaian dan ingin memberi apresiasi ini semua terhadap
prilaku yang baik yang telah menjaganya. Selain ia hidup untuk Tasbih, ia juga
bercita-cita mengupayakan keseimbangan hidup yang layak bagi semua.
....................
Setelah
mencoba merasakan kesedihan yang dirasakan sang batang, ia mencoba turun
kebawah. Ia ragu. Tapi, tetap memberanikan diri membangunkan akar, yang
menurutnya selalu tidur dan seakan tak pernah menghiraukan apa yang terjadi
pada keadaan diatas sana. Dalam kebimbangan, tatapan nanar, setelah agak lama
menunggu mulailah daun merasakan gerah. Yang ditunggu pun akhirnya membuka
suara. Dengan sedikit bergumam, mulailah ada jawaban dengan kharisma dan
wibawanya sebagai penopang setia terhadap semua unsur hidup sebatang pohon.
Ada
apa engkau menyapaku, bukankah keberadaanmu nyaman diatas sana? Kalaupun benar
telah sampai waktu engkau kemari, kenapa aku tak merasakan gugurmu? Tanya akar
pada daun yang penuh rasa ingin tahunya.
Maafkan
kelancanganku tentang adanya pertanyaan wahai akar yang bijaksana. Aku bimbang
dan gusar. Apakah engkau merasakan apa yang dirasakan oleh saudara mu di atas
sana oleh tindakan bodoh dari makhluk serakah yang aku dengar disebut “manusia”
oleh batang yang setia menerimaku tinggal? Ataukah engkau memang tidak peduli
terhadap apapun yang terjadi pada bagian-bagianmu yang menghirup udara di alam
lepas di atas sana?
Janganlah
engkau merasa bersalah atas hal-hal yang ingin engkau ketahui dariku. Engkau benar
akan itu, tetapi secara bersamaan dengan hal itu, aku juga merasakan kepedihan
atas itu semua. Sama seperti saudara-saudaraku rasakan. Hanya saja karena aku
diciptakan oleh Sang Pencipta dengan tempat dan tugas tertentu, aku kembali
pada fitrahnya kehidupan atasku. Saat manusia datang, akulah yang terlebih
dahulu merasakan kedatangannya. Pernahkah engkau bertanya pada batang, kalau
aku selalu mengisyaratkan kehadiran setiap manusia dengan isyarat mengoyangkan
pangkal batang dengan gerakan yang tak bisa dirasakan dan dilihat oleh manusia?
Tuhan berikan aku kekuatan akan itu. Aku berharap batang memberi isyarat kepada
bagian lainnya. Aku yakin ia melakukan hal itu dengan baik. Hanya saja karena
kita semua tidak diberikan kelebihan seperti berpindah layaknya manusia, kita
hanya bisa pasrah sembari melafadkan kebesaranNya sebelum ajal merengut kita
dan terpisah pada kehidupan ini semestinya. Semoga engkau tidak merasa bersalah
jikalau aku menjawab, aku selalu peduli atas itu semua. Semua hal, aku sadari
dengan seksama. Terkadang aku sedih dan sedikit kecewa karena tidak mampu
melawan para “Makhluk Serakah” itu. Sehingga akhirnya, aku mendapat pelajaran
hikmah dari Ciptaan Rabb di dalam tanah, semua mereka menyatakan itu semua
sudah diatur oleh Sang Khaliq. Ujian ini adalah pencerminan kita terhadap
ibadah dan zikir yang mempengaruhi besar kecilnya daya mengabdi kita pada Tuhan
nantinya serta mengisi kehidupan ini dengan bijaksana. Kita tidak ditiupkan ruh
untuk merusak kehidupan, justru kehidupan harus bertambah hidup dengan
kehadiran kita dimuka bumi ini. Aku kembali bersemangat mulai saat itu, bahkan
dalam doaku selalu meminta kepada Allah Subhanahu waa Ta’Ala, agar mengampunkan
mereka yang telah salah dalam bertindak dan membukakan pintu hati agar mereka
bertaubat suatu ketika dan menyelamatkan iman mereka bagi yang belum pernah
melakukannya sama sekali terhadap kita.
Aku
terkesima dengan jawaban dari “akar”. Dalam takjubku atas ketegarannya dan
menerima apapun yang Tuhan telah berikan pada kehidupan ini, aku belajar agar
terus menerus menerima kehidupan ini dengan sebagaimana mestinya telah Tuhan
tetapkan. Doaku juga sama dengannya. Tapi aku berharap, ada suatu hal yang
dapat membuat manusia menjauh dari kami, sehingga selamatnya kehidupan kami
kembali pada harfiahnya kehidupan seperti yang lainnya makhluk hidup didunia
ini.
Tak
ada lagi pertanyaan baginya, ia sangat bersahaja. Aku jadi ingin mencontoh
prilaku akar. Aku berpamitan dan segera kembali pada kehidupan yang sewajarnya.
Sekembali
kesana, dalam perjalanan aku dikejutkan dengan kehadiran angin yang tidak
seperti biasanya. Aku berada dalam tanda tanya. Angin tak juga memberi ku
peluang untuk bertanya ada apa yang sedang terjadi. Sampai saat daya kuatku
bertahan menjadi bertambah lemas. Sayup-sayup kudengat seperti ada suara yang
menyapa dan menegurku. Rupanya angin mulai membisikkan ku perjalanan
kegelisahannya.
Hai
daun, aku seperti ini berdasarkan perintah. Agar keseimbangan ini terjadi. Aku diperintahkan
Tuhan, untuk membuat semua gerakan dan lambaian berjalan sebagaimana mestinya. Bukankah
engkau merasakan adanya titik air yang membasahi permukaanmu dan tanah di bawah
sana. Itu adalah rahmat dan berkah titipan Tuhan untuk hidup kita bersama
seluruh makhluk dibumi ini. Tidak seperti biasanya, kali ini aku bergerak
dengan kencang untuk kepastian meratanya mendung diatas sana. Semua bagian
kehidupan sekarang semua sedang memerlukan air untuk keberlangsungan kehidupan
mereka semua. Ada beberapa manusia sudah tertimbun longsoran tanah dibawah
sana. Mereka mungkin beberapa orang yang ingin mengusik kalian. Tapi Tuhan Maha
Adil dengan Ajal dan Hidupnya kita semua. Selamat jalan daun, aku merasakan
doamu pada Tuhan agar dijauhkan dari manusia dan itulah rindumu pada
keseimbangan kehidupan yang telah ditetapkan Tuhan dalam perjalanan kehidupan
kita. Bukankah kehidupan tenang yang kita cari. Ingatlah, saat engkau telah
tiada engkau tetap berguna. Engkau akan menjadi penyubur yang generasi
berikutnya yang akan berjalan pada roda kehidupan. Manusia pun suatu saat akan
mendapat pelajaran penting dari pengabdianmu selama telah tidak berumur. Engkau
akan dijadikan penyeimbang kehidupan mereka juga. Semoga perjalanan hidupmu
terlahir kembali dalam zikir dan tasbih pada kehidupan nantinya.
...........................
Saat-saat
genting telah berlalu. Anginpun kembali tenang. Aku terjaga. Namun sekarang aku
merasakan yang berbeda. Tempat hidupku tidaklah lagi bergantung pada ranting
yang ditugaskan batang menjadi penyemat tinggalku. Sekarang aku berada di tanah
yang kurindukan dalam doaku. Kulihat tatapan akar dari kejauhan dengan sangat
menawan, aku tak takut, aku lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan
berikutnya ini. Aku percaya Tuhan telah memberiku jalan terbaik penuh hikmah. Walau
aku tak tahu lagi, kabar sang batang yang telah pada oleh angin tadi. Akar yang
telah bungkam pun menjadi sesuatu hal baru pada dimensi kehidupan sekarang. Aku
sekarang kering namun bersandar pada tanah. Tiap saat aku makin merasakan
adanya sapaan-sapaan kecil dari “penghuni” bawah tanah yang belum kuketahui
bentuknya seperti apa. Melainkan sekilas cerita lama dari sang akar saat aku
masih penuh keraguan. Tapi dimana manusia? Apakah mereka merasakan kehidupan
sepertiku? Apakah mereka semakin jahat merusak kehidupan yang tak bersalah
padaku dan teman-temanku? Apakah mereka sekarang telah menjadi makhluk berakal
dan berpikiran sebagaimana diatur Tuhan Yang Maha Kuasa?. (selesai/Mac Noumi)
Banda Aceh, 31 Januari 2016.
Hikayat Rindu Damai (dari pohon untuk kehidupan)
Reviewed by Mac_Noumi
on
06.39.00
Rating:
Tidak ada komentar: